Jumat, 05 Februari 2016

Ayah: Guru Peradaban

Dimana peranmu ?
Tentukan Dimana Peranmu!

“Jika berbagai elemen umat Islam telah mengambil peran yang berbeda dalam kancah perjuangan iqamatuddin (menegakkan agama), maka ada bagian dari mereka yang memilih untuk fokus dalam bidang pendidikan dalam rangka membentuk dan membina generasi Qur'ani yang berakhlak mulia. Merekalah para guru peradaban.”

Generasi ini, tidak akan pernah bisa menjadi baik, kecuali dengan cara yang pernah dipakai untuk memperbaiki generasi awal.

Begitulah sepenggal kalimat abadi Imam Malik yang mungkin hari ini terdengar begitu asing di telinga umat Islam. Tak heran,  liberalisasi dan sekulerisasi pendidikan terus menggerus generasi Muslim yang semestinya lahir ke dunia ini untuk menjadi penerus Sang Pembebas Konstantinopel; Muhammad Al-Fatih.

Silau dengan segala yang bermuara dari Barat, pada akhirnya -perlahan tapi pasti- telah mengubah kiblat umat Islam hari ini. Tak pelak, stigma “Barat adalah role model bagi peradaban umat manusia” pun kini telah berhasil menyilapkan umat Islam dari sejarah peradaban gemilang di masa Rasulullah dan para shahabat. Umat Islam hari ini pun seakan lupa bahwa jauh sebelum nama-nama besar filsuf Yunani (yang sebagian besar adalah penganut atheis) bergaung di muka bumi, ada berderet nama pejuang peradaban yang kemuliaan jiwanya telah mendapat “sertifikasi” resmi dari Rabb seluruh alam.

“Sebaik-baik umat adalah generasiku (shahabat), kemudian setelahnya (tabi'in), kemudian setelahnya (tabi'ut tabi'in).” (HR. Bukhari-Muslim)
Jika kita mencermati bagaimana pola pendidikan saat ini, kesilapan itulah yang kemudian melahirkan konsep “pendidikan modern” yang berbasis pada 3 hal:

Segala sesuatu harus memiliki bukti ilmiah (ada dasar metode ilmiah)
Segala sesuatu harus dapat diterima secara rasional
Jika suatu “ilmu” belum dapat dibuktikan secara ilmiah dan rasional, barulah merujuk pada kitab (al-kitab, pedoman agama)
Jika demikian, maka “pendidikan modern” yang pertama kali didengungkan oleh Jan Amos Komensky (Comenius) justru telah lancang menempatkan kitab suci yang semestinya menjadi the way of life pada poin terakhir. Suka tidak suka, pada akhirnya kita memang harus mengakui bahwa begitulah wajah “pendidikan modern” yang diterapkan pada sebagian besar instansi pendidikan saat ini. Innalillaahi…

Konsep “pendidikan modern” inilah yang kemudian memutar balik konsep pendidikan Islam: menelaah ayat akan melahirkan ilmu. Namun saat ini? Menggali ilmu dari berbagai sumber, kemudian barulah menelaah ayat, tetapi jika ternyata tidak ilmiah dan rasional (menurut akal manusia), maka ayat tersebut dianggap tidak relevan bagi ilmu yang sedang digali itu. Akhirnya, jadilah kita umat yang meninggalkan Al-Quran di balik punggung-punggung kita. Astaghfirullaah, wal'iyadzubillah…

“Siapa yang meletakkan Al-Qur’an di depannya, dia (Al-Quran itu) akan menuntunnya ke surga. Siapa yang meletakkan Al-Qur’an di belakang punggungnya, dia akan menyeretnya ke neraka.” [HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany]
Padahal, konsekuensi keimanan kita sebagai umat yang diwarisi Al-Quran sebagai firman Allah adalah meyakini tanpa sedikitpun keraguan bahwa Al-Quran adalah petunjuk hidup yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Meyakini bahwa apa yang telah dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah shalalllahu ‘alayhi wasallam adalah kebenaran yang membawa kemaslahatan bagi seluruh manusia di muka bumi ini.

Buktinya sudah terang. Bagaimana Rasulullah menjadi satu-satunya manusia yang paling berpengaruh bagi peradaban dunia, bahkan sampai hari ini. Bagaimana cicit Al-Faruq; Umar bin Abdul Aziz telah berhasil menguasai hampir 2/3 dunia hanya dalam kurun waktu 2 tahun masa pemerintahannya. Bagaimana Muhammad Al-Fatih, pada usia 23 tahun telah berhasil menjadi jenderal perang yang memimpin 4 juta pasukan.

Lihatlah, sudah berapa lama Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara “merdeka”? Lihatlah, sudah berapa kali perguliran presiden berlangsung? Dan lihatlah, bagaimana hasil yang kita lihat sampai hari ini? Bagaimana kesejahteraan rakyat, keamanan negeri, terlebih moral anak bangsa yang “telah merdeka” ini? Andai saja kita mau sedikit saja menggali sejarah peradaban gemilang berabad-abad silam. Andai saja kita mau lebih akrab terhadap Al-Quran, ketimbang kitab-kitab para filsuf itu.

Sinergi antara Orangtua, Guru, dan Pemangku Kebijakan (Stakeholder)

“Pendidikan anak di sekolah tidak sama dengan menyerahkan pendidikan mereka sepenuhnya kepada instansi sekolah. Orangtua dan guru harus bekerja secara simultan. Saling mendukung.”

Hubungan yang simultan antara orangtua dan guru dalam pendidikan anak dapat terjadi jika mereka menyadari, bahwa selain berkewajiban mendidik dan mengajarkan ilmu, serta menanamkan akhlak yang mulia kepada anak, merekapun harus mau menjadi pihak yang dididik dan diajari itu. Orangtua dan guru harus terus belajar. Jika demikian, tidak akan ada lagi keluhan seorang ibu, “Anakku lebih percaya pada gurunya.” karena di dalam rumah pun anak-anak mendapatkan pendidikan dari muaranya, yaitu ayah dan ibunya.

Konsep “aku harus terus belajar” juga hendaknya terus dipupuk oleh para orangtua dan guru, agar anak didik mereka melihat langsung bagaimana figur pembelajar teladan, yang tidak lain adalah ayah, ibu, dan gurunya sendiri. Bukankah inti dari pendidikan adalah keteladanan? Dan bukankah ini pula esensi yang telah lama hilang dari “pendidikan modern” hari ini?

Perkembangan Pendidikan di Indonesia

Setidaknya ada 2 “aliran” pendidikan yang dapat dicermati perkembangannya di Indonesia, yaitu:

1. Aliran Pragmatis

“Islamkan apa yang ada.”
Aliran ini melahirkan konsep-konsep instan yang berbalut label syar'i atau islami, misalnya: bank syari'ah, asuransi syari'ah, bahkan termasuk pula sekolah-sekolah islami.

Bermain bola milik sendiri di lapangan milik orang lain.

Mungkin beginilah analogi yang tepat bagi para penganut aliran pragmatis. Sekalipun kita mengusung nilai-nilai syari'at dan keislaman pada setiap “produk” yang kita kembangkan, namun jika konsep atau dasar pijakan yang digunakan tidak merujuk pada sumber-sumber syari'at itu sendiri, maka kita bisa buktikan sendiri bagaimana hasilnya saat ini. Satu saja contoh yang gamblang: bagaimana bank syari'ah hari ini, adakah yang memang benar-benar telah bebas dari riba, apapun bentuknya? Tidak ada? Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah bank tersebut telah berlabel syari'ah?

Ingat, siapakah yang menjadi pemangku kebijakannya dan bersumber darimanakah dasar kebijakan itu.

2. Aliran Idealis

Aliran ini memiliki konsep atau dasar pijakan yang kuat karena menggali dan merujuk langsung dari sumber aslinya. Dengan demikian, butuh waktu yang lama untuk mewujudkan konsep ini secara utuh. Namun, dengan dasar pijakan yang kuat dan proses yang relatif lebih lama, buah yang dihasilkan akan matang secara alami, bukan karbitan. Ini seperti mencicipi mangga yang ranum karena matang pohon dengan mangga yang manis secara karbitan. Dapatkah Anda merasakan bedanya?

Lantas, bagaimanakah sebenarnya konsep pendidikan Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah hingga mampu melahirkan generasi hebat sekelas shahabat dan mewarisi generasi sedahsyat Muhammad Al-Fatih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar