Minggu, 14 Februari 2016

5 Rahasia SUKSES Pengasuhan Anak Berbasis Fitrah

Setiap jiwa bertanggung jawab atas semua yang diperbuatnya. Manusia pasti identik dengan pertanggung jawaban. Ketika kita diamanahi seorang anak, maka Allah akan menanyakan bagaimana kita mengelola, mengasuh, hingga mendidik anak ini.
Jika orangtua yang rajin ibadah, rajin ngaji, qiyamul lail, dan sebagainya, namun tidak mendidik anaknya, maka ia akan terhalang masuk surga, karena tidak bisa menjalankan perannya sebagai orangtua. Anak itu amanah, yang harus dijaga. Maka jadilah orang tua yang mampu menjalankan perannya dengan baik.
Tugas orangtua mengarahkan anaknya untuk menjalankan programnya sebagai khalifah Allah. Fitrah sejatinya adalah program. Fitrah ibarat `software` yang ditanam dalam setiap bayi. Orangtua yang mengaktifkan atau merusaknya. Nah tugas orang tua sejatinya adalah memastikan anaknya untuk menjalankan programnya di dunia dengan baik. Kemudian mengenali softwarenya, lalu menyesuaikan dengan hardwarenya, lalu install lah.
Tugas Orangtua: Bagaimana Menjadi Orangtua yang Amanah?
Ar-ruum ayat 21: “tetaplah atas fitrah Allah sesuai dengan apa yang diciptakan Allah.”
Tugas pertama orangtua adalah:
Menerima, menjaga, dan mengembangkan fitrah anak.
Fitrah Dasar Anak Manusia:

1. Setiap anak itu BERTAUHID
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu ?", mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS al-A`raf: 172)
Allah adalah manajer yang paling baik. Program Allah kelak di hari akhir adalah akan membuat semua manusia bersaksi. Sejatinya semua manusia itu fitrahnya Islam. Orang tuanya lah yang mengubahnya menjadi bukan Islam. Software yang ditanamkan oleh Allah tidak diaktifkan oleh orangtuanya.
Kenalkanlah anak pertama kali pada Kalamullah. Ketika dalam kandungan biasakan sang ibu mendengarkan atau membaca al-Qur`an. Jangan pada musik-musik barat, misal musik jazz, mozart.
"Tidak akan berkumpul dalam satu hati jika Anda mencintai Al-Qur`an dan mencintai Musik". Kenalkan anak pada kalimat toyyibah. Tanamkan kecintaan pada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.
Jangan jadikan anak sebagai cabe-cabean, terong-terongan, terong dicabein (banci), jagung bakar (jablai tanggung baru mekar), jamur (janda di bawah umur).
Anak kita sejatinya BERTAUHID!.

2. Anak adalah seorang PENGABDI yang TAAT
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku."
(QS adz-Dzariyat: 56)
`Bakat` taat ada di dalam jiwa manusia, maka jangan putus asa terhadap kenakalan anak. Awal pembangkangan menjadikan akal sebagai panglima. Hati adalah Raja, maka taklukkanlah hatinya untuk taat pada Allah. Ilmu Allah sangat luas, dibandingkan akal manusia. Ilmu Allah ibarat gunung, akal manusia ibarat timbangan bawang. Filfasat kalo nggak direm dengan hati, maka bahayanya akan tergelincir pada hal yang tidak baik. Standar Islam dalam mengurus anak adalah dapat menjadikan Anak tunduk pada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.

3. Setiap anak itu memiliki jiwa LEADER (pemimpin)
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: " Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yg akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senatiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tdk kamu ketahui." (QS al-Baqarah: 30)
Sentuhlah hati anak, setelah itu arahkan akalnya. Jangan jadikan anak sebagai anak ALAY. Alay itu tidak tau arah (mental follower ---> thinking shock), mudah dipengaruhi. Anak-anak yang tidak memiliki daya pikir yang kuat maka akan mudah dipengaruhi.

4. Anak itu BERPOTENSI dan CERDAS
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam taqwim yang sebaik-baiknya." (QS at-Tin: 4)
Taqwim adalah potensi untuk menjadi qowwam atau pemimpin, termasuk kecerdasan, pola pikir dan strategi. Ketika dalam kandungan, pertumbuhan otak anak mulai berkembang. Buatlah hati seorang ibu menjadi senang, ibu hamil yang stres akan berpotensi menghasilkan anak yang cacat. Namun jika saat seorang Istri hamil, muliakan ia, bahagiakan ia, maka berpotensi akan mencipatakan otak anak yang sangat baik. Membahagiakan Ibu hamil, sama halnya dengan investasi untuk kebaikan di masa depan. Buatlah program "Membahagiakan Orang Hamil".

5. Fitrahnya seorang anak yg memiliki SEKSUALITAS BENAR dan LURUS.
"Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat: 13)
"......Dan laki2 tidaklah seperti anak perempuan.” (QS ali-Imran: 36)
Kenapa ada anak laki-laki yang berkarakter seperti perempuan atau sebaliknya, maka perhatikanlah bagaimana pola asuhnya. Biasanya pengasuhannya kekurangan sosok ayahnya. Kurangnya sosok Ayah dimasa kecil.
Minimal 5 fitrah dasar ini kita jaga, kenali, dan kembangkan. Agar fitrah anak sesuai pada apa yang diciptakan Allah. Islam lebih menekankan pada proses pengasuhan, bukan pada hasilnya.
Pertanyaan:
Bagaimana jika Anak kita sudah besar, dan belum menerapkan sistem pengasuhan anak sesuai fitrahnya?.
Jawaban:
Jika anak sudah terlanjur besar, maka mulailah untuk beristighfar lalu mulailah untuk mencicil menjadikan anak itu sesuai pengasuhan yang baik. Jika anak sudah besar dan berkarakter nyebelin, maka cobalah untuk evaluasi, sebenarnya itu cara anak untuk menagih sistem pengasuhan yang baik dari orangtuanya. Ibarat anak nyebelin itu sama posisinya sebagai debt collector. Maka hendaklah lunasi semua hutang (pengasuhan) pada anak.
Pelan-pelan menjalankan untuk pelunasan hutang pengasuhan yang baik. Mengurus anak itu memang susah, karena hadiahnya SURGA, kalau mudah mendidik anak maka hadiahnya Voucher PULSA.
Harus sabar...sampai anak mampu mengubah dirinya sendiri kepada hal yang baik. Jangan menuntut anak yang berlebihan, namun berkacalah sebagai orangtua, apakah kita sudah mendidik, mengasuh anak sesuai syari`at?.
Bertaqwalah kepada Allah, perbaikilah perkataan kalian (orangtua). Berkomunikasilah dengan baik, gunakan kata-kata indah dan baik terhadap anak. Ketahuilah bahwa tanamkan iman pertama kali pada anak. Kenalkan Allah dan buat anak cinta pada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.

*****
Intinya setiap anak itu terlahir dengan fitrah yang baik, atau dapat dikatakan sebagai muslim. Terlampir dalilnya al-A`raf: 172, adz-Dzariyat: 56, al-Baqarah: 30, at-Tin: 4, al-Hujurat: 13, ali-Imran: 36.
Nah, tinggal bagaimana orang tua yang akan mengarahkan sang Anak. Bagaimana mendidik, membimbing, menjaga dan mengasuhnya.
Sejatinya Fitrah seorang anak yang dilahirkan itu adalah:
1. Anak Bertauhid
2. Seorang Pengabdi yang Taat
3. Memiliki Jiwa Leader
4. Memiliki Potensi dan Cerdas
5. Memiliki Seksualitas yang Benar dan Lurus.
oleh Ustadz Bendri Jaisyurrahman (@ajobendri)

Sabtu, 06 Februari 2016

3 Ayah Terkeren ala Islam

1. Rasulullah Nabi Muhammad SAW
Saudaraku, Rasulullah SAW ini sangat dikenali oleh semua orang, baik itu musuh ataupun kawan, Baik itu Muslim ataupun bukan. Rasulullah SAW telah dinobatkan sebagai orang yang paling berpangaruh di dunia (versi buku “The 100”). Rasulullah SAW memiliki 4 putra serta 4 putri. Jiwa penyayang Rasulullah SAW kepada anak kecil itu sangat tidak diragukan lagi.
Rasulullah SAW sangat menyayangi dan menghargai semua anak kecil, walaupun tidak ada (tidak memiliki) hubungan darah. Bahkan ketika Rasulullah SAW berjumpa dengan anak kecil, beliau selalu bercanda, mengajak balap lari, serta membuat lawakan/ lelucon jenaka untuk mubuat anak kecil dan cucunya tersebut tertawa riang gembira. Sesungguhnya Rasulullah SAW merupakan sosok yang sabar dan tidak suka memarah-marahi anak kecil. Meskipun Rasulullah SAW terkenal dengan penyabar dan tidak suka marah pada anak kecil, bukan malah berarti Rasulullah SAW menghilangkan sifat tegasnya dalam mendidik anak.
Rasulullah SAW tidak segan-segan menegur anak kecil, apabila anak tersebut menyalahi adab dalam ajaran Islam. Seperti Misal, Rasulullah pernah menegur Umar bin Abu Salma ;
{” Hai nak! Bacalah basmalah, menyuaplah dengan tangan kananmu serta makanlah apa yang ada didekatmu! “} (HR. Bukhari dan Muslim).
Bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda ; {” Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya (Allah SWT), seandainya Fatimah binti Muhammad SAW (putri Rasulullah Nabi Muhammad SAW sendiri) mencuri, tentu Muhammad SAW akan memotong tangannya. “} (HR. Bukhari).
Saudaraku, melalui contoh Rasulullah SAW ini kita bisa mengetahui sebagai seorang ayah yang baik kita harus dan patuh dekat dengan anak kita, Namun tidak serta-merta menghilang sikap ketegasan dan objektivitas kita tetang kebenaran, melalui didikan ayah juga akan berdampak positif bagi anak tersebut.

2. Nabi Ibrahim AS
Saudaraku, Nabi Ibrahim AS menjadi sosok ayah terkeren berikutnya menurut Islam, sebab dengan keberhasilan beliau dalam membina suatu keluarga tersebut. Telah mengantarkan Prestasinya yakni di antaranya ; Sarah yang sholehah, Hajar yang tegar, serta Ismail putra yang sholeh yang mampu menguatkan dan mengokohkan keimanan bapaknya (yakni Nabi Ibrahim AS).
Nabi Ibrahim AS telah berhasil mendidik keluarganya tersebut untuk menjadi keluarga yang senantiasa selalu mentauhidkan Sang Maha pencipta, Allah SWT. Dan yang paling sulit pun dalam kehidupan sebagai seorang ayah, Nabi Ibrahim AS telah melaluinya dengan sangat baik.
Ketika turunnya wahyu/ perintah dari Allah SWT untuk meninggalkan Hajar (Istrinya) yang baru saja melahirkan seorang putra yakni Nabi Ismail di bukit gersang yang sama sekali tidak berpenghuni. Dan pada waktu turunnya perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail. Jujur walaupun perintah itu sangat berat, Namu Nabi Ibrahim menjalankannya sesuai perintah Allah SWT. Bahkan Nabi Ibrahim AS sebagai seorang ayah telah mampu meyakinkan kepada keluarganya tersebut, mengenai arti ketaatan terhadap perintah Allah SWT.
Saudaraku, kisah ini telah menyadarkan kita betapa seorang ayah tersebut tidak menjadikan rasa cinta kepada keluarganya sebagai alasan untuk selalu berbuat hal-hal negatif yang menyimpang terhadap perintah Allah SWT. Seberat apapun itu kondisinya (yang ayah terima), tetaplah kita selalu yakin bahwasanya Allah SWT akan selalu menolong serta memberikan jalan yang baik baginya.

3. Nabi Ya’qub AS (Ayah dari Nabi Yusuf AS)
Saudaraku, Nabi Ya’qub AS ini menjadi ayah terkeren dalam Islam itu semata-mata bukan karena beliau memiliki putra Nabi Yusuf AS yang sangat terkenal dengan super tampan. Namun, hal yang tidak kalah kerennya lagi adalah sifat kesabaran Nabi Ya’kub AS dalam mendidik (mengenalkan) antara mana yang baik dan buruk kepada putranya tersebut.
Sifat iri yang acap kali dimikili oleh anak tersebut, terhadap berbagai perhatian orang tua mereka kepada saudaranya itu juga dialami anak-anaknya Nabi Ya’qub AS. Rasa iri inilah yang menjerumuskan anak-anak Nabi Ya’qub AS (kakak Nabi Yusuf AS) untuk berbuat jahat kepada Nabi Yusuf.
Meskipun Beliau mengetahui bahwasanya anak-anaknya tersebut telah berbuat jahat pada putra kesayangannya yakni Nabi Yusuf AS, Nabi Ya’qub AS tidak serta-merta mengusir dan membuang anaknya tersebut dari kediamannya. Malah justru, Nabi Ya’qub AS mendoakan anaknya tersebut agar diberi ampunan oleh Allah SWT. Beliau mendoakan dan menasehati anak-anaknya agar bisa berubah menjadi yang lebih baik.

Saudaraku, Sikap kesabaran inilah yang seharusnya patut kita contohkan sebagai seorang ayah yang memiliki anak yang begitu nakal dan bermasalah. Sesungguhnya, Kekurangan anak kita itu bukan berarti menjadikan suatu alasan seorang ayah untuk menghukumnya dengan keras dan mengusirnya. Namun, selayaknyalah sudah menjadi tanggung jawab orang tua untuk meluruskan putra-putrinya menuju jalan yang benar, yakni jalan yang diridhoi Allah SWT.
Sebagai seorang Ayah haruslah bersikap tegas, namun tidak serta menghakimi bahkan melebel negatif mengenai anaknya. Ketegasan dalam membimbing dan mendidik Anak sebaik mungkin, yang jelek akhlany maka dibuat (dididik) bagus, yang tidak lurus jalannya maka dibuat lurus, yang gagal anaknya dikasih motivasi agar jangan menyerah dalam berbuat kebaikan dan kebajikan.

Itulah 3 Ayah Terkeren ala Islam, dan sebenarnya masih banyak lagi ayah terkeren dalam Islam yang belum kami share di website ini. Dan semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin !
Oleh : Didik Sugianto

Jumat, 05 Februari 2016

Ayah: Guru Peradaban

Dimana peranmu ?
Tentukan Dimana Peranmu!

“Jika berbagai elemen umat Islam telah mengambil peran yang berbeda dalam kancah perjuangan iqamatuddin (menegakkan agama), maka ada bagian dari mereka yang memilih untuk fokus dalam bidang pendidikan dalam rangka membentuk dan membina generasi Qur'ani yang berakhlak mulia. Merekalah para guru peradaban.”

Generasi ini, tidak akan pernah bisa menjadi baik, kecuali dengan cara yang pernah dipakai untuk memperbaiki generasi awal.

Begitulah sepenggal kalimat abadi Imam Malik yang mungkin hari ini terdengar begitu asing di telinga umat Islam. Tak heran,  liberalisasi dan sekulerisasi pendidikan terus menggerus generasi Muslim yang semestinya lahir ke dunia ini untuk menjadi penerus Sang Pembebas Konstantinopel; Muhammad Al-Fatih.

Silau dengan segala yang bermuara dari Barat, pada akhirnya -perlahan tapi pasti- telah mengubah kiblat umat Islam hari ini. Tak pelak, stigma “Barat adalah role model bagi peradaban umat manusia” pun kini telah berhasil menyilapkan umat Islam dari sejarah peradaban gemilang di masa Rasulullah dan para shahabat. Umat Islam hari ini pun seakan lupa bahwa jauh sebelum nama-nama besar filsuf Yunani (yang sebagian besar adalah penganut atheis) bergaung di muka bumi, ada berderet nama pejuang peradaban yang kemuliaan jiwanya telah mendapat “sertifikasi” resmi dari Rabb seluruh alam.

“Sebaik-baik umat adalah generasiku (shahabat), kemudian setelahnya (tabi'in), kemudian setelahnya (tabi'ut tabi'in).” (HR. Bukhari-Muslim)
Jika kita mencermati bagaimana pola pendidikan saat ini, kesilapan itulah yang kemudian melahirkan konsep “pendidikan modern” yang berbasis pada 3 hal:

Segala sesuatu harus memiliki bukti ilmiah (ada dasar metode ilmiah)
Segala sesuatu harus dapat diterima secara rasional
Jika suatu “ilmu” belum dapat dibuktikan secara ilmiah dan rasional, barulah merujuk pada kitab (al-kitab, pedoman agama)
Jika demikian, maka “pendidikan modern” yang pertama kali didengungkan oleh Jan Amos Komensky (Comenius) justru telah lancang menempatkan kitab suci yang semestinya menjadi the way of life pada poin terakhir. Suka tidak suka, pada akhirnya kita memang harus mengakui bahwa begitulah wajah “pendidikan modern” yang diterapkan pada sebagian besar instansi pendidikan saat ini. Innalillaahi…

Konsep “pendidikan modern” inilah yang kemudian memutar balik konsep pendidikan Islam: menelaah ayat akan melahirkan ilmu. Namun saat ini? Menggali ilmu dari berbagai sumber, kemudian barulah menelaah ayat, tetapi jika ternyata tidak ilmiah dan rasional (menurut akal manusia), maka ayat tersebut dianggap tidak relevan bagi ilmu yang sedang digali itu. Akhirnya, jadilah kita umat yang meninggalkan Al-Quran di balik punggung-punggung kita. Astaghfirullaah, wal'iyadzubillah…

“Siapa yang meletakkan Al-Qur’an di depannya, dia (Al-Quran itu) akan menuntunnya ke surga. Siapa yang meletakkan Al-Qur’an di belakang punggungnya, dia akan menyeretnya ke neraka.” [HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany]
Padahal, konsekuensi keimanan kita sebagai umat yang diwarisi Al-Quran sebagai firman Allah adalah meyakini tanpa sedikitpun keraguan bahwa Al-Quran adalah petunjuk hidup yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Meyakini bahwa apa yang telah dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah shalalllahu ‘alayhi wasallam adalah kebenaran yang membawa kemaslahatan bagi seluruh manusia di muka bumi ini.

Buktinya sudah terang. Bagaimana Rasulullah menjadi satu-satunya manusia yang paling berpengaruh bagi peradaban dunia, bahkan sampai hari ini. Bagaimana cicit Al-Faruq; Umar bin Abdul Aziz telah berhasil menguasai hampir 2/3 dunia hanya dalam kurun waktu 2 tahun masa pemerintahannya. Bagaimana Muhammad Al-Fatih, pada usia 23 tahun telah berhasil menjadi jenderal perang yang memimpin 4 juta pasukan.

Lihatlah, sudah berapa lama Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara “merdeka”? Lihatlah, sudah berapa kali perguliran presiden berlangsung? Dan lihatlah, bagaimana hasil yang kita lihat sampai hari ini? Bagaimana kesejahteraan rakyat, keamanan negeri, terlebih moral anak bangsa yang “telah merdeka” ini? Andai saja kita mau sedikit saja menggali sejarah peradaban gemilang berabad-abad silam. Andai saja kita mau lebih akrab terhadap Al-Quran, ketimbang kitab-kitab para filsuf itu.

Sinergi antara Orangtua, Guru, dan Pemangku Kebijakan (Stakeholder)

“Pendidikan anak di sekolah tidak sama dengan menyerahkan pendidikan mereka sepenuhnya kepada instansi sekolah. Orangtua dan guru harus bekerja secara simultan. Saling mendukung.”

Hubungan yang simultan antara orangtua dan guru dalam pendidikan anak dapat terjadi jika mereka menyadari, bahwa selain berkewajiban mendidik dan mengajarkan ilmu, serta menanamkan akhlak yang mulia kepada anak, merekapun harus mau menjadi pihak yang dididik dan diajari itu. Orangtua dan guru harus terus belajar. Jika demikian, tidak akan ada lagi keluhan seorang ibu, “Anakku lebih percaya pada gurunya.” karena di dalam rumah pun anak-anak mendapatkan pendidikan dari muaranya, yaitu ayah dan ibunya.

Konsep “aku harus terus belajar” juga hendaknya terus dipupuk oleh para orangtua dan guru, agar anak didik mereka melihat langsung bagaimana figur pembelajar teladan, yang tidak lain adalah ayah, ibu, dan gurunya sendiri. Bukankah inti dari pendidikan adalah keteladanan? Dan bukankah ini pula esensi yang telah lama hilang dari “pendidikan modern” hari ini?

Perkembangan Pendidikan di Indonesia

Setidaknya ada 2 “aliran” pendidikan yang dapat dicermati perkembangannya di Indonesia, yaitu:

1. Aliran Pragmatis

“Islamkan apa yang ada.”
Aliran ini melahirkan konsep-konsep instan yang berbalut label syar'i atau islami, misalnya: bank syari'ah, asuransi syari'ah, bahkan termasuk pula sekolah-sekolah islami.

Bermain bola milik sendiri di lapangan milik orang lain.

Mungkin beginilah analogi yang tepat bagi para penganut aliran pragmatis. Sekalipun kita mengusung nilai-nilai syari'at dan keislaman pada setiap “produk” yang kita kembangkan, namun jika konsep atau dasar pijakan yang digunakan tidak merujuk pada sumber-sumber syari'at itu sendiri, maka kita bisa buktikan sendiri bagaimana hasilnya saat ini. Satu saja contoh yang gamblang: bagaimana bank syari'ah hari ini, adakah yang memang benar-benar telah bebas dari riba, apapun bentuknya? Tidak ada? Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah bank tersebut telah berlabel syari'ah?

Ingat, siapakah yang menjadi pemangku kebijakannya dan bersumber darimanakah dasar kebijakan itu.

2. Aliran Idealis

Aliran ini memiliki konsep atau dasar pijakan yang kuat karena menggali dan merujuk langsung dari sumber aslinya. Dengan demikian, butuh waktu yang lama untuk mewujudkan konsep ini secara utuh. Namun, dengan dasar pijakan yang kuat dan proses yang relatif lebih lama, buah yang dihasilkan akan matang secara alami, bukan karbitan. Ini seperti mencicipi mangga yang ranum karena matang pohon dengan mangga yang manis secara karbitan. Dapatkah Anda merasakan bedanya?

Lantas, bagaimanakah sebenarnya konsep pendidikan Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah hingga mampu melahirkan generasi hebat sekelas shahabat dan mewarisi generasi sedahsyat Muhammad Al-Fatih?

Kamis, 04 Februari 2016

5 Rahasia Mendidik Anak Super

Pada dasarnya, metode Nabawiyah menekankan aspek dasar pendidikan adalah dengan kelembutan. Meski demikian, pendidikan Nabawiyah pun tidak menafikan adanya hukuman, bahkan dengan pukulan. Hal ini agaknya berseberangan dengan teori psikologi Barat yang bahkan “mengharamkan” mengucapkan kata “jangan” pada anak-anak. Padahal Al-Qur’an telah berkali-kali merangkumkan kalimat larangan dan penegasan yang diawali dengan kata “jangan”.

Namun, penetapan hukuman dalam pendidikan pun harus dilakukan dengan tahapan. Jelas tidak dapat dibenarkan ketika ada anak yang berbuat salah, kemudian tanpa tedheng aling-aling sang guru maupun orangtua memukulnya dengan dalih mengikuti sunnah Rasul. Jelas tidak dapat dibenarkan menghukum dengan keras tanpa mempertimbangkan karakter anak maupun tingkat kesalahannya. (Tentang tahapan menghukum ini, in syaa Allaah akan saya ringkaskan pada artikel selanjutnya).

Pada artikel ini, in syaa Allaah pembahasannya mengerucut pada cara Rasulullah dalam memahami karakter anak. Rasulullah adalah suri teladan final dalam segala hal. Termasuk dalam hal mendidik anak. Saya begitu terkesima ketika mendengar kisah-kisah Rasulullah yang begitu lembut ketika membersamai anak-anak. Sungguh, beliau adalah seorang panglima dan punggawa di medan perang, namun di sisi lain, beliau pun telah menjadi pemenang di hati seluruh umat manusia. Maa syaa Allaah. Shalaatu wassalaam ‘alayk yaa Rasulullaah… :’)

Setidaknya ada 5 hal yang perlu kita perhatikan, sebagai orangtua, calon orangtua, maupun orang yang menggeluti dunia anak-anak; para pendidik misalnya.

1. Menjaga perasaan anak

Pernah dengar kisah Rasulullah yang memanjangkan sujudnya saat Hasan atau Husein sedang asyik menaiki punggung beliau? Kemudian ketika para shahabat bertanya mengapa sujud beliau lebih lama dari biasanya, apa jawaban beliau?

“Sesungguhnya tadi cucuku sedang menaiki punggungku. Aku hanya tak ingin mengganggunya hingga mereka puas melakukan itu.”

Bagaimana? Terkesima? Sabar dulu. Itu baru contoh pertama di poin pertama. :)

2. Memeluk dan mencium anak

Rasulullah, sebagai seorang Nabi sekaligus Rasul, tentu saja beliau adalah orang yang dianugerahi kecerdasan dan keluasan ilmu yang luar biasa. Namun, di hadapan anak-anak, beliau tak pernah merasa “jaim” untuk “menurunkan derajat” keilmuannya itu. Beliau tak pernah jaim untuk berbaur bersama anak-anak. Beliau tak pernah bermuka masam kepada anak-anak. Beliau tak pelit dalam menyatakan rasa sayang. Bahkan beliau adalah orang yang paling murah dalam mengulurkan tangannya untuk menggendong, memeluk, atau sekadar mengelus kepala anak-anak.

Saya kutipkan sebuah hadits berisi cuplikan kisah yang dibawa oleh Anas bin Malik, asisten kesayangan sekaligus orang kepercayaan Rasulullah.

"Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih sayang kepada anak-anak daripada Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam. Putra Nabi (yang bernama) Ibrahim memiliki ibu susuan di daerah Awaali di kota Madinah. Nabi pun berangkat (ke rumah ibu susuan tersebut) dan kami bersama beliau. Beliau masuk ke dalam rumah yang ternyata dalam keadaan penuh asap, karena suami ibu susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Nabi pun segera mengambil Ibrahim lalu menciumnya, lalu beliau kembali.” (HR. Muslim)

Atau dalam kisah yang lain, Rasulullah di tengah kesibukannya dalam tugas kenabian ternyata sempat meluangkan waktunya untuk bermain dengan anak-anak. Usamah bin Zaid pernah bercerita, “Rasulullah pernah mendudukkanku di satu pahanya dan mendudukkan Hasan di paha yang satunya. Kemudian beliau merangkul kami berdua sambil berdoa,

"Ya Allah cintailah keduanya, sungguh aku mencintai mereka berdua.” (HR. Bukhari)

3. Melayani imajinasi anak

Pikiran anak-anak ibarat lemari yang berisi segudang imajinasi. Ada sebuah kisah menarik lainnya yang kali ini terjadi antara Rasulullah dan salah seorang istri tercintanya; Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Kisah ini diceritakan oleh ‘Aisyah sendiri.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah tiba dari perang Tabuk atau Khaibar, sementara kamar ‘Aisyah ditutup dengan kain penutup. Ketika ada angin yang bertiup, kain tersebut tersingkap hingga mainan boneka ‘Aisyah terlihat. Beliau lalu bertanya, “Wahai ‘Aisyah, apa ini?” ‘Aisyah menjawab, “Itu mainan bonekaku.”

Lalu beliau juga melihat patung kuda yang mempunyai dua sayap. Beliau bertanya, “Lalu sesuatu yang aku lihat di tengah-tengah boneka ini apa?” ‘Aisyah menjawab, “Boneka kuda.” Beliau bertanya lagi, “Lalu yang ada di bagian atasnya itu apa?” ‘Aisyah menjawab, “Dua sayap.” Beliau bertanya lagi, “Kuda mempunyai dua sayap?”

‘Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?” ‘Aisyah berkata, “Beliau lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya.” (HR. Abu Daud)

Lihat, bagaimana Rasulullah menanggapi imajinasi ‘Aisyah yang kala itu masih berusia belia. ‘Aisyah berimajinasi bahwa boneka kuda memiliki sayap (dalam siroh dijelaskan bahwa imajinasi ini ternyata dibenarkan dengan dalil bahwa kuda Nabi Sulaiman memang memiliki sayap). Beliau mendengarkannya dengan seksama, bahkan menimpalinya dengan tawa. Tak sedikitpun mematahkannya.

4. Jangan pernah berbohong pada anak

Rasulullah telah mengajarkan bahwa ternyata memanggil anak kecil untuk diberi sesuatu padahal ia tidak punya yang dijanjikan tersebut dinilai sebagai sebuah kedustaan, dan itu dilarang. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amir radhiyallahu ‘anhu.

“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam pernah datang ke rumah kami yang saat itu aku masih kecil. Lalu aku ingin keluar untuk bermain. Ibuku pun memanggilku, “Hai kemarilah, aku akan memberimu sesuatu. Kemudian, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu benar-benar ingin memberinya sesuatu?”

Ibuku menjawab, “Aku akan memberinya kurma.”

Rasulullah pun bersabda, “Jika saja kamu tidak memberinya apa-apa, niscaya dicatat atasmu perbuatan dusta.” (HR. Abu Daud).

5. Menjaga lisan terhadap anak

Termasuk bentuk menjaga lisan terhadap anak adalah dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, tidak menggunakan bahasa “alay”, dan lebih baik menggunakan bahasa baku. Sebab Rasulullah telah menjadi teladan bagi kita sebagai seorang yang memiliki kemampuan berbahasa yang sangat baik.


Sekiranya tulisan ini bermanfaat, silakan disebarkan. Allaahu a’lam. :)

Rabu, 03 Februari 2016

Negeri Tanpa AYAH

Jika memiliki anak sudah mengaku-ngaku menjadi AYAH, maka sama anehnya dengan orang yang punya bola ngaku-ngaku jadi pemain bola. AYAH itu gelar untuk lelaki yang mau dan pandai mengasuh anak, bukan sekedar ‘membuat’ anak. Jika AYAH mau terlibat mengasuh anak bersama ibu, maka separuh permasalahan negeri ini teratasi.

AYAH yang tugasnya cuma ngasih uang, menyamakan dirinya dengan mesin ATM. Didatangi saat anak butuh saja. Akibat hilangnya fungsi tarbiyah dari AYAH, maka banyak AYAH yang tidak tahu kapan anak lelakinya pertama kali mimpi basah. Sementara anak dituntut sholat shubuh padahal ia dalam keadaan junub. Sholatnya tidak sah. Dimana tanggung jawab AYAH ?

Jika ada anak durhaka, tentu ada juga AYAH durhaka. Ini istilah dari 'Umar bin Khattab (radhiyallahu 'anhu). AYAH durhaka bukan yang bisa dikutuk jadi batu oleh anaknya. Tetapi AYAH yang menuntut anaknya shalih dan shalihah, namun tak memberikan hak anak di masa kecilnya. AYAH ingin didoakan masuk surga oleh anaknya, tapi tak pernah berdoa untuk anaknya. AYAH ingin dimuliakan oleh anaknya tapi tak mau memuliakan anaknya.

Negeri ini hampir kehilangan AYAH. Semua pengajar anak di usia dini diisi oleh kaum ibu. Pantaslah negeri kita dicap fatherless country. Padahal keberanian, kemandirian dan ketegasan harus diajarkan di usia dini. Dimana AYAH sang pengajar utama?

Dunia AYAH saat ini hanyalah Kotak. Yakni koran, televisi dan komputer. AYAH malu untuk mengasuh anak apalagi jika masih bayi. Banyak anak yang sudah merasa yatim sebelum waktunya, sebab AYAH dirasakan tak hadir dalam kehidupannya.

Semangat Quran mengenai pengasuhan justru mengedepankan AYAH sebagai tokoh. Kita mengenal Lukman, Ibrahim, Ya'qub, Imran. Mereka adalah contoh AYAH yang peduli. Ibnul Qayyim dalam kitab Tuhfatul Maudud berkata,

“Jika terjadi kerusakan pada anak penyebab utamanya adalah AYAH.”

Ingatlah! Seorang anak bernasab kepada AYAHnya bukan ibu. Nasab yang merujuk pada anak menunjukkan kepada siapa Allah meminta pertanggungjawaban kelak.

Rasulullah yang mulia sejak kecil ditinggal mati oleh AYAH-nya. Tetapi nilai-nilai ke-AYAH-an tak pernah hilang didapat dari sosok kakek dan pamannya. Nabi Ibrahim adalah AYAH yang super sibuk, jarang pulang. Tapi dia tetap bisa mengasuh anak meski dari jauh. Terbukti 2 anaknya menjadi nabi. Generasi sahabat menjadi generasi gemilang karena AYAH amat terlibat dalam mengasuh anak bersama ibu. Mereka digelari umat terbaik.

Di dalam Quran ternyata terdapat 17 dialog pengasuhan, dimana 14 diantaranya yaitu dialog antara AYAH dan anak. Ternyata AYAH lebih banyak disebut.


Mari ajak AYAH untuk terlibat dalam pengasuhan baik di rumah, sekolah dan masjid. Harus ada sosok AYAH yang mau menjadi guru TK dan TPA, agar anak kita belajar kisah 'Umar yang tegas secara benar dan tepat. Bukan ibu yang berkisah, tapi AYAH-lah.

AYAH pengasuh harus hadir di masjid, agar anak merasa tentram berlama-lama di dalamnya. Bukan was-was atau merasa terancam dengan hardikan. Jadikan anak terhormat di masjid, agar ia menjadi generasi masjid, dan AYAH-lah yang membantunya merasa nyaman di masjid.

Ibu memang madrasah pertama seorang anak, tetapi AYAH yang menjadi kepala sekolahnya. AYAH kepala sekolah bertugas menentukan visi pengasuhan bagi anak sekaligus mengevaluasinya. Selain juga membuat nyaman suasana sekolah yakni ibunya. Jika AYAH hanya mengurusi TV rusak, keran hilang, genteng bocor di dalam rumah, ini bukan AYAH 'kepala sekolah’ tapi AYAH 'penjaga sekolah’

Ibarat burung yang punya dua sayap. Anak membutuhkan keduanya untuk terbang tinggi ke angkasa. Kedua sayap itu adalah AYAH dan IBU-nya. Ibu mengasah kepekaan rasa, AYAH memberi makna terhadap logika. Kedua-duanya dibutuhkan oleh anak. Jika ibu tak ada, anak menjadi kering cinta. Jika AYAH tak ada, anak tak punya kecerdasan logika.

AYAH mengajarkan anak menjadi pemimpin yang tegas. Ibu membimbingnya menjadi pemimpin yang peduli. Tegas dan peduli itu sikap utama. Hak anak adalah mendapatkan pengasuh yang lengkap. AYAH terlibat, ibu apalagi. Mari penuhi hak anak untuk melibatkan AYAH dalam pengasuhan. Semoga negeri ini tak lagi kehilangan AYAH.

Silakan share jika berkenan agar makin banyak AYAH yang peduli dengan urusan pengasuhan.
@ajobendri

Minggu, 30 Agustus 2015

Ayah, aku bukan anak nakal !

Begitu banyak orang tua, guru, bahkan masyarakat yang membicarakan anak yang dikategorikan sebagai anak nakal. Orang tua mulai mencemaskan masa depan anaknya tersebut, sebagai guru, keberadaan anak tersebut juga merupakan tantangan tersendiri bagi dirinya, dan sebagai masyarakat mulai mencemaskan terhadap kenakalan mereka terutama berkenaan dengan akibat perilaku negatif yang ditimbulkan.

Anak dilahirkan seperti kertas putih, tanpa noda dan dosa. Orang tua dan lingkungannya lah yang menentukan seorang anak menjadi apa nantinya. Seperti hadist Rasulullah SAW berikut!
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani, dan Majusi, sebagaimana dilahirkannya binatang ternak dengan sempurna, apakah padanya terdapat telinga yang terpotong atau kecacatan lainnya?. Kemudian Abu Hurairah membaca, Jika engkau mau hendaklah baca, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus”

Sekalipun ketika anak baru lahir dalam keadaan fitrah, namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan anak kedepannya, di antaranya yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Dari hari ke hari, seseorang anak berinteraksi dengan lingkungannya, baik orang tua, keluarga maupun masyarakat. Nilai-nilai hakiki, sentuhan kasih sayang, dan semua perlakuan menyenangkan akan membentuk kepribadiannya menjadi positif, namun apabila dari kecil ia telah mendapatkan perlakukaan yang tidak baik, maka kemungkinan besar anak tersebut akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang baik pula.

Menurut undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, pasal 1 disebutkan bahwa anak nakal adalah: a) anak yang melakukan tindak pidana; b) melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Teringat kisah seorang sahabat, ketika anaknya bermain di dapur dan tanpa sengaja memecahkan gelas kaca. Gelaspun hancur tak berbentuk lagi. Sontak sang ibu berteriak kuat sambil mengucapkan kata nakal yang membuat sang anak ketakutan. Hanya karena gelas saja ibunya rela menyakiti hati sang anak dan ditambah lagi dengan pukulan yang mendarat di kakinya. Sang anak hanya mampu berdiri di pojok ruangan dengan wajah memerah dan ketakutan. Hanya karena sebuah gelas seharga Rp. 10.000 sang ibu rela menyakiti hati sang anak yang mungkin saja dapat ia ingat sampai ia dewasa.

Pertanyaannya sekarang, nakalkah anak tersebut? Apakah pantas seorang anak yang memecahkan gelas tanpa sengaja atau sekadar melompat-lompat di kursi lantas kita sebut sebagai anak nakal?
Menilik kembali pengertian anak nakal menurut undang-undang, apakah anak yang melompat-lompat dikursi dan memecahkan gelas termasuk tindakan pidana? Atau malah termasuk perbuatan yang dilarang? Jika tidak, maka janganlah kita cepat sekali menyimpulkan seorang anak yang bersikap di luar keinginan kita sebagai anak yang nakal.

Anak diciptakan dengan segudang potensi dan keunikan masing-masing. Namun, sadarkah kita, sebagai orang tua atau guru,  ternyata kita punya andil dalam mematikan atau membonsai potensi anak yang merupakan anugerah terbesar bagi dirinya. Kita terlalu cepat memberikan label kepada mereka dengan sebutan anak nakal.

Layakkah tingkah dan polah mereka kita beri predikat sebagai anak nakal? Ataukah ….

Mereka sebenarnya anak yang kreatif dan memiliki kecerdasan yang luar biasa namun kreatifitasnya tak sejalan dengan pemikiran dan keinginan kita. Seorang anak yang ingin bermain di luar rumah dan sang ibu memaksanya untuk tidur. Akhirnya pintu dikunci dan tak lupa menyelot kunci pintu yang ditaruh paling atas pintu. Lalu, kuncinya digantung di atas tembok yang tak dapat terjangkau oleh sang anak. Apa yang terjadi? Sang anak mengangkat kursi dan naik di atasnya, lalu mengambil kunci yang digantung di tembok. Menyadari kunci sudah ada di tangannya sang ibu hanya memperhatikan saja. Dalam hati, mana bisa anak sekecil itu bisa membuka pintu. Anak pun memasukkan kunci ke lubangnya dan mencoba beberapa kali memutar-mutar kunci. “Klik….” bunyi kunci terbuka.

Anak tersebut memiliki kecerdasan yang luar biasa, ia mampu memikirkan cara untuk mengambil kunci yang tergantung ditembok dan membuka pintu. Tapi masalahnya adalah kecerdasan sang anak tidak sejalan dengan keinginan sang ibu yang menginginkan anaknya untuk tidur.
Anak yang memiliki energi “ekstra” namun kita tidak dapat menyalurkannya dengan baik.

Masih ingatkah kita dengan sosok si jenius Albert Einstein? Anak yang bermasalah dari sekolah dasar. Selama sekolah, ia tidak mau mengikuti pelajaran selain matematika dan fisika. saat pelajaran sastra dan yang lainnya, ia memilih keluar dari kelas dan pergi ke danau untuk bereksplorasi dengan alam. Saat di sekolah, Einstein dikenal sebagai anak nakal. Alhamdulillah ia memiliki orang tua yang sangat mendukung keinginannya yang kuat untuk terus belajar matematika dan fisika dan memilih untuk tidak mempelajari ilmu lainnya.
Orang tua dan guru memiliki tanggung jawab penuh untuk menyalurkan energi ekstra sang anak pada posisi yang tepat agar sang anak mampu untuk terus mengembangkan kemampuannya.
Anak yang memiliki ide yang ” tidak biasa” namun kita menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diatur.

Proses belajar mengajar dikelas sering sekali terhambat karena adanya beberapa anak yang tidak mampu mengikuti prosedur yang diharapkan guru. Contohnya saja ketika melakukan praktikum. Sering sekali anak tidak mengikuti arahan dari guru dan melakukan kreasi sendiri. Kita sering sekali menganggap anak nakal hanya karena ia tidak bisa mengikuti arahan kita, padahal di luar dari itu, sang anak sedang mencoba ide kreatifnya yang muncul secara tiba-tiba dan mungkin tidak mendapatkan pengakuan di rumahnya. Seharusnya kita mampu melihat dan membimbing apa yang dikerjakannya dan memberikan apresiasi atas usahanya tersebut.

Kenakalan yang dilakukan anak adakalanya sebagai bentuk aktivitas, ekspresi, dan elaborasi diri dalam proses perubahan menuju kedewasaan. Hal ini dipengaruhi oleh rasa ingin tahu, ingin mencoba, dan ingin bisa seorang anak terhadap suatu persoalan. Bahkan, kenakalan seorang anak bisa saja dipandang sebagai bentuk kreatifitas dini.

Apapun yang dilakukan seorang anak yang dinyatakan terlarang bagi anak dan merugikan bagi orang lain, sesungguhnya posisi anak tetap sebagai korban. Anak adalah korban kurangnya perhatian dan bimbingan orang tua, korban pendidikan yang belum memadai, korban perkembangan teknologi dan media massa dengan aturan yang tidak berpihak kepada kepentingan tumbuh kembang moralitas dan mentalitas anak. Karena apa yang dilakukan anak yang dipandang sebagai bentuk kenakalan itu, juga merupakan bagian dari kewajiban dan tanggung jawab perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, bahkan negara dan pemerintah.

Di sinilah peran besar pendidikan, dimana anak harus didik diarahkan, dibimbing agar kepribadiannya yang negatif hilang, sehingga kepribadian yang positif dapat berkembang sehingga menjadi manusia yang bermanfaat seeperti hadist Rasulullah “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”


Sumber:Dakwatuna.com

Sabtu, 29 Agustus 2015

Cara Unik Sayangi & Muliakan Istri


Perkataan yang kasar dari suami tidak menjadikannya jantan, justru itu perlihatkan sikap terlihat kejam tanpa perasaan


Wanita dicipta dari lekuk rusuk agar disayangi, tentu lebih layak dicintai setelah jadi istri

Meluruskannya dengan paksa hanya mematahkannya, kesabaran dan kelembutan adalah kuncinya

Istri diambil dengan amanah serta kalimat yang baik dari walinya, maka jaga dan berlakulah baik padanya sebagaimana Nabi meminta.

Siapa yang tak luluh hatinya bila memiliki suami yang santun lisannya dan sabar dalam menasihati?

Bukan agar istri takut pada suami lalu istri takut berlaku salah, namun agar dia enggan melihat suaminya sedih maka dia berlaku benar

Maka ancaman apalagi pukulan bukanlah jalan, coba kata-kata lembut sejuk penuh pengertian pelan-pelan

Sebetulnya bila istri senantiasa berbuat salah, maka sejatinya suaminya itu bermasalah

Karena tugas suami bukan hanya menafkahi lahir, namun terutama agar dalam kebaikan dia jadi mahir

Membimbing dan mengajari kebaikan adalah tugasnya suami, memimpinnya dalam kebenaran adalah kewajiban suami

Jagan tuduh istrimu tidak sempurna melakukan kewajibannya, mungkin suaminya yang tidak penuh tunaikan haknya?

Atau mungkin kedua-duanya selama ini bermasalah? tanpa iman dan ilmu lantas nekat untuk menikah?

Bagaimanapun suami adalah pemimpin atas istrinya, tak layak pemimpin tidak berlaku baik pada yang dipimpinnya

Pandangilah dia bila memasak bagi anak-anakmu, dengarkan senandungnya saat menidurkan anak-anakmu

Lisan yang baik itu merubah akal dan pikiran, lisan kasar dan amal kasar tanda cacat pikiran

Perbanyak memahami kisah Rasulullah memerlakukan istri-istrinya, niscaya kita temukan hikmah pelajaran kaya pekerti

“Sesungguhnya yang paling baik diantara laki-laki adalah yang paling baik kepada istri-istrinya” (HR Ahmad)

Kenyataannya jarang kita temukan suami dzalim pada istrinya, lantas Allah berikan kemudahan hidupnya di dunia.

Sayangi dan muliakan istrimu , bahagia dan berharga hidupmu !

Sumber:
Felix Siau -  Islamedia